Jumat, 29 Agustus 2008

artikel umum

Publisitas, Fiksi Hukum, dan Keadilan
Posted August 4th, 2008 by yustisia rahman
Dikirim/ditulis pada 4 August 2008 oleh yustisia rahman

Oleh: Yustisia Rahman [Penulis adalah Mahasiswa FHUI dan Penggiat ConFRONT! (Community For Freedom And Social Transformation, Depok) yus_rahmanov@yahoo.co.id]
"Melalui publisitas inilah, keadilan menjadi ibu dari rasa aman" (Jeremy Bentham)
Pertempuran dahsyat itu berakhir. Zeus yang memimpin Dewa-dewi Olympus akhirnya memenangkan peperangan melawan para raksasa Titan dan Kronos, si penguasa yang lalim. Zeus yang menaklukan Kronos kemudian menjadi penguasa baru alam semesta. Pertempuran berakhir, dan kehancuran yang tak terbayangkan menjadi saksi pertempuran itu. Sebagai penguasa Zeus segara mengambil tindakan. Keteraturan harus kembali dipulihkan. Hanya dengan keteraturan saja kehidupan akan berjalan menuju kedamaian dan harmoni. Oleh karena itu manusia dan para dewa harus tunduk pada hukum dan aturan yang dikeluarkan oleh Zeus sang penguasa yang baru.
Untuk membantunya memulihkan kembali ketertiban dan menegakan hukum, Zeus mengutus dua orang dewi: Yustisia dan Themis. Yustisia bertugas sebagai dewi keadilan dan penghukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran atas sabda Zeus serta berbuat zalim pada sesama, tak peduli ia manusia bahkan dewa sekalipun. Mungkin karena itulah Zeus menutup mata Yustisia, sehingga ia tak akan ragu mengayunkan pedang yang ada di tangannya sebagai hukuman bagi para para pendosa tanpa pandang bulu. Themis memiliki tugas yang berbeda. Ia bertugas mencatat semua sabda dan perintah Zeus kemudian menyebarkannya kepada manusia dan para dewa, sehingga mereka tau apa kehendak Zeus yang tidak lain merupakan hukum yang harus ditaati tanpa pengecualian.
Yustisia dan Themis bekerja dalam sinergi. Tak akan ada penghukuman bila tidak ada hukum yang mengaturnya. Tak akan ada penghukuman bila semua orang tidak mengetahui hukum dan peraturan yang harus ditaati. Pedang Yustisia tidak akan terayun bila pena Themis tidak mencatat sabda Zeus dan mengabarkannya pada manusia serta para dewa.
Kisah mitologi ini memiliki pesan yang mendalam: Hukum tidak akan tegak, keadilan tidak akan terwujud bila tidak ada aspek publisitas dalam penegakan hukum. Sebuah pesan yang sangat bermakna bagi proses reformasi hukum di negeri ini.
Teori Fiksi Hukum versus Asas PublisitasDalam ilmu hukum dikenal teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang mengandaikan semua orang mengetahui peraturan tersebut. Dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau peraturannya.
Menurut teori fiksi hukum, kewajiban untuk mempublikasikan peraturan yang dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pengundangan sebuah undang-undang di Indonesia dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. Dengan pengundangan itu undang-undang resmi berlaku dan dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat dalam tubuh undang-undang itu sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang ditempatkan di bagian penutup suatu undang-undang itu berbunyi: “agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Teori fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut (Mertokusumo:1985). Dengan demikian pengundangan peraturan tidak memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak. Disnilah muncul kelemahan teori fiksi hukum, pemerintah dapat berbuat sewenang-wenang pada masyarakat yang dianggap melanggar aturan hukum dan mengenyampingkan ketidaktahuan masyarakat atas hukum atau peraturan yang harus ditaati.
Teori ini secara tidak langsung telah mengabaikan keberlakuan sosiologis hukum dalam masyarakat. Sebuah norma, dalam hal ini norma hukum akan efektif apabila memiliki keberlakuan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Sebuah undang-undang bisa saja memiliki nilai filosofis yang sesuai dengan cita dasar sebuah negara (aspek filosofis) dan penyusunannya dilakukan melalui mekanisme yang sah berdasarkan udang-undang (aspek yuridis). Akan tetapi apabila undang-undang tersebut tidak diterima oleh masyarakat (aspek sosiologis) maka undang-undang itu tetap akan menjadi produk hukum yang gagal dalam arti tidak akan berlaku secara efektif. Terlebih dengan dianutnya teori fiksi hukum, keberlakuan sosiologis akan semakin sulit didapatkan. Sebab tidak mungkin masyarakat mematuhi dan menerima hukum atau peraturan jika mereka tidak mengetahui hukum atau peraturan apa yang harus mereka taati. Dalam hal ini teori fiksi hukum bertentangan dengan asas publisitas yang mensyaratkan agar masyarakat memiliki aksesibilitas dalam memperoleh informasi hukum. Asas publisitas dalam arti materiel menunjukan kewajiban pemerintah untuk mempublikasikan peraturan perundang-undangan, terlebih yang sifatnya mengikat umum, kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan memahaminya sebagai prasyarat terwujudnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Secara historis lahirnya asas publisitas berawal dari kebiasaan Raja Hamurabi dari Babylonia (kira-kira pada tahun 2000 SM) yang mendirikan tugu peringatan di tempat-tempat publik setiap kali dia mengeluarkan hukum dan peraturan yang baru bagi rakyatnya. Dalam tugu peringatan yang kemudian dikenal dengan Kode Hamurabi itu tertera perintah-perintah raja Hamurabi yang dipahatkan di permukaan tugu tersebut, sehingga semua orang dapat membacanya, mengetahuinya, untuk kemudian mematuhinya. Kode Hamurabi merupakan kerifan dari kebudayaan di masa silam yang menekankan pentingnya aspek publisitas dalam penegakan hukum. Penempatan Kode Hamurabbi di tempat-tempat publik yang memungkinkan akses masyarakat melihatnya menunjukan hal tersebut. Jangan mengharapkan masyarakat mematuhi hukum yang dibuat jika penguasa tidak berusaha mempublikasikan hukum atau peraturan yang dibuat itu kepada masyarakat.
Publisitas hukum dan Teknologi informasi Sayangnya saat ini asas publisitas diterapkan dengan pendekatan teori fiksi hukum. sehingga publisitas hanya hanya difahami sebatas aspek formalnya saja. Pengundangan sebuah peraturan kini dianggap sudah cukup menggugurkan kewajiban mempublikasikan peraturan kepada masyarakat. Padahal di zaman modern ini asas publisitas hukum memiliki substansi yang lebih dalam dari sekedar menempatkan peraturan di Lembaran Negara. Dalam kaitannya dengan reformasi hukum, aspek publisitas dalam hukum mencakup aksesibilitas masyarakat mendapatkan informasi tentang hukum baik itu hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) maupun hukum yang diharapkan berlaku dikemudian hari (ius constituendum). Untuk yang terakhir ini maka aspek publisitas mencakup juga hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam perumusan dan pembuatan peraturan.
Keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan perundang-undangan merupakan hak yang diatur dalam Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan perancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.” Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan dengan sendirinya menunjukan terdapatnya akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi hukum.
Dalam pelaksanaannya, pelibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan masih terhambat aturan-aturan formal. Dalam pembuatan undang-undang di DPR misalnya, keterlibatan masyarakat menurut Tata Tertib DPR hanya difasilitasi dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dimana masyarakat berhak menyampaikan aspirasinya secara langsung dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dewan. Selebihnya masyarakat hanya boleh memantau jalannya rapat pembahasan, itupun jika pembahasan dilakukan dalam rapat-rapat terbuka bukan dalam rapat tertutup atau forum lobby yang terkadang berlangsung di luar gedung DPR. Hal ini menyebabkan keterbatasan masyarakat dalam memperoleh informasi pembahasan peraturan yang berjalan sehingga kontrol publik dalam perumusan peraturan menjadi berkurang. Sehingga bukan tidak mungkin anggota dewan merumuskan peraturan yang substansinya merugikan masyarakat.
Keterbatasan informasi itu bukannya tidak dapat diantisipasi, DPR dan alat kelengkapannya dapat menggunakan teknologi informasi seperti menggunakan situs internet (portal). Namun sayangnya situs resmi DPR (www.dpr.go.id) tampaknya jarang sekali dimutakhirkan sehingga informasi-informasi perumusan dan pembahasan peraturan perundang-undangan tidak dapat diketahui oleh khalayak selain melalui media massa.
Pemanfaatan teknologi informasi untuk mempublikasikan informasi hukum oleh lembaga negara mungkin baru dapat dilakukan secara memusakan oleh Mahkamah Konstitusi. Melalui situs resminya (www.mahkamahkonstitusi.go.id) masyarakat dapat mengakses dan mengunduh putusan-putusan mahkamah konstitusi secara mudah dan tanpa biaya. Masyarakat bahkan dapat memantau jalanya persidangan, sebab semua risalah persidangan juga dapat diakses di situs resmi tersebut. Terlebih pengelolaan situs MK tampaknya mengedepankan aktualitas sehingga putusan yang dikeluarkan olah hakim MK di pagi hari, sudah dapat diakses oleh masyarakat di siang harinya. Hal ini tentu memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi hukum, sebab dalam ilmu hukum putusan hakim merupakan salah satu sumber hukum selain peraturan perundang-undangan.
Sayangnya keberhasilan MK tidak diikuti oleh Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga negara lainnya yang memegang kekuasaan kehakiman. MA dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya tampaknya masih sangat tertutup dalam memberikan akses informasi terutama yang terkait dengan putusan-putusan yang dihasilkan. Hal ini jelas bertentangan dengan asas-asas penyelenggaraan peradilan, salah satunya peradilan terbuka untuk umum. Hakim memang memiliki kemerdekaan dan putusan adalah mahkota hakim, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang mencampuri kemerdekaan hakim dalam membuat putusan. Akan tetapi dengan asas peradilan terbuka untuk umum, maka semua putusan yang dihasilkan dan salinan putusannya menjadi dokumen milik publik yang dapat diakses oleh siapa saja. Oleh karena itu sangat mengherankan jika untuk mendapatkan putusan hakim dari kepaniteraan pengadilan kita harus mengeluarkan biaya sebagaimana yang terjadi selama ini.
Publisitas hukum dalam keragamanLantas bagaimana dengan pemerintah sendiri? Sebagai lembaga eksekutif yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengundangan peraturan perundang-undangan, pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memperluas aksesibilitas masyarakat dalam memperoleh informasi hukum. Tentu kewajiban pemerintah bukan sekedar menempatkan undang-undang dalam Lembaran Negara kemudian mempublikasikannya melalui pemanfaatan teknologi informasi atau dengan mencetak dan membagikannya kepada khalayak. Keragaman sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi tantangan besar dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh informasi hukum.
Pemanfaatan teknologi informasi saja tidak akan cukup menjawab tuntutan publisitas hukum kepada masyarakat yang memiliki keberagaman. Hal ini terkait dengan perbedaan kultur dan tingkat pengetahuan antara kelompok masyarakat. Memberikan informasi hukum kepada masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Apalagi tidak semua orang mampu mengerti bahasa hukum yang terkadang rumit terlebih masih ada kelompok masyarakat yang tidak mampu membaca huruf latin sehingga memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan publisitas hukum tidak akan menjawab persoalan. Sementara memberikan informasi hukum merupakan kewajiban negara agar tidak terjadi kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) yang kerap mendera masyarakat yang membutuhkan layanan hukum dari negara. Kondisi ketidakseimbangan informasi merupakan lahan yang subur bagi penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan-penyimpangan, baik itu oleh aparatur negara maupun oleh kelompok masyarakat lainnya.
Langkah yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi lagi-lagi patut dijadikan contoh. Agar masyarakat lebih mengerti isi konstitusi kepada masyarakat, MK menerjemahkan UUD 1945 kedalam beberapa bahasa daerah, bahasa tionghoa dan bahasa arab pegon (arab melayu atau arab gundul). Hal ini tentu memudahkan masyarakat dari berbagai latar belakang budaya untuk memahami isi konstitusi dan dengan sendirinya meningkatkan kesadaran berkewarganegaraan (civic consciousness) termasuk akan hak-hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai warga negara.
Penerapan asas publisitas dalam hukum tentu bukan sebatas aspek formal belaka berupa metode penyebarluasan informasi hukum kepada masyarakat. Secara substansial publisitas hukum adalah penunjang agar hukum memiliki keberlakuan sosiologis di masyarakat yang terwujud dari kesediaan masyarakat untuk mematuhi peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Keberluakuan sosiologi akan semakin mudah didapatkan jika substansi peraturan yang dibuat mengedepankan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Terlebih bila penyebarluasannya dilakukan dengan memperhatikan latar belakang budaya masyarakat yang beragam.
Pada akhirnya publisitas hukum akan menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan informasi hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pihak lain sehingga keadilan sebagai salah satu tujuan hukum dapat terwujud. Seperti kata Jeremy Bentham, seorang cendekiawan ilmu hukum: “Melalui publisitas ini sajalah keadilan menjadi ibu dari rasa aman.”
sumber:http://www.legalitas.org/?q=content/publisitas-fiksi-hukum-dan-keadilan

hukum

Kasus mengenai Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE
Posted July 17th, 2008 by ronny
Dikirim/ditulis pada 17 July 2008 oleh ronny

Oleh: Ronny, M.Kom, M.H[Penulis adalah Pemerhati dan Praktisi Hukum Telematika ronny_wuisan@yahoo.com]
Selain memuat ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem elektronik untuk mendukung informasi dan transaksi elektronik, UU ITE juga memuat pasal-pasal mengenai Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana. Perbuatan yang Dilarang termuat pada pasal 27 – 37, sedangkan Ketentuan Pidana pada pasal 45 – 52. Pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda. Pada bagian ini, penulis menampilkan satu contoh kasus yang terkait dengan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. Dengan contoh ini diharapkan para pembaca dapat mengambil pelajaran penting dari pasal-pasal terkait Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana.
Contoh kasus:”Si A adalah pemilik rental VCD berbagai macam film. Suatu hari, dia mendapatkan kiriman satu VCD dari seseorang yang tidak dikenal. Isi VCD berupa video singkat yang memuat permainan sex sepasang suami-isteri. Dalam cerita ini, si suami isteri itu sengaja membuat video tersebut untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan, tapi entah bagaimana video itu jatuh ke tangan orang lain (si A). Kemudian, si A meng-copy video itu ke dalam beberapa VCD, lalu menyebarkan atau menjualnya. Pekerjaan Si A tidak hanya menjual VCD, si A juga memiliki kegemaran untuk merekayasa foto-foto artis menjadi tampak dalam pose bugil, malahan si A memiliki website yang dirancangnya sendiri untuk menfasilitasi pemuatan video dan gambar-gambar pornografi baik gambar asli atau gambar rekayasa”
Dari kasus di atas, perbuatan si A dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:Pertama :Perbuatan si A dengan sengaja dan tanpa hak telah mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik berupa video singkat yang melanggar kesusilaan. Untuk itu Pasal 27 ayat 1 akan menjerat si A.Pasal 27 ayat 1 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Kedua :Perbuatan si A melakukan manipulasi terhadap informasi elektronik berupa foto artis untuk diubah menjadi foto dalam pose bugil. Tujuan dari manipulasi ini adalah mencemarkan nama baik artis dan membuat foto hasil rekayasa seolah-olah otentik/asli.
Untuk itu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 35 akan menjerat pula si A.Pasal 27 ayat 3 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.Pasal 35 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
Ketiga :Perbuatan si A mengakibatkan kerugian bagi suami isteri dan artis. Si suami isteri membuat video itu untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan. Si artis memiliki foto asli tidak dalam pose bugil, tapi karena ulah si A, foto asli diubah menjadi foto rekayasa dalam pose bugil.Untuk itu Pasal 36 akan menjerat pula si A.
Pasal 36 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
Keempat :Perbuatan si A mengadakan perangkat lunak berupa website yang bertujuan untuk menfasilitasi pendistribusian foto/gambar bersifat pornografi.Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan menjerat pula si A.Pasal 34 ayat 1 bagian a : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33”.
Dari pasal-pasal yang dapat menjerat si A maka ketentuan pidana yang terkait termuat pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 45 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pasal 50 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 51 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”
Pasal 51 ayat 2 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”
Sumber: http://www.ronny-hukum.blogspot.com/
1888 reads

Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITEOn July 28th, 2008 Sudhono (not verified) says:
Pada 28 July 2008 Sudhono (not verified) mengirim komentar:
Dikeluarkannya UU No. 11 tjh. 2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) tgl. 25 Maret 2008 diharapakan akan memberikan rasa aman dan menjadi payung hukum bagi para pengguna jasa teknologi informasi serta juga dapat melegakan bagi para orang tua yang anak-anaknya gemar ke warnet. Namun setelah membaca dan mendalami isi UU No. 11 tjh. 2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) saya menilai UU ini dibuat kurang cermat dan dapat menimbulkan kontrovesi terutama yang menyangkut aturan-aturan pidana dalam UU tersebut ( Psl 27 s/d 37 dan ancaman pidananya (psl. 45 s/d 52). Pengertian-pengertian tentang frasa " melanggar kesusilaan" dalam pasal 27 ayat (1) yang walaupun sudah merupakan istilah umum, namun perlu uraian lebih konkrit tentang perbuatan yang dirumuskan "melanggar kesusilaan" tersebut. Seharusnya diuraikan dalam pengertian istilah-istilah dalam pasal 1 atau dalam penjelasan pasal 27 ayat (1). Namun ternyata tidak ditemukan, sehingga akan menimbulkan kesulitan bagi aparat hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) untuk menerapkannya. Demikian pula uraian konkrit tentang istilah-istilah "Perjudian" dlm Psl. 27 ayat (2), dan "menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan" dlm psl. 28 ayat (2).Di samping itu kenapa tidak ada aturan yang melarang situs-situs yang berbau kekerasan /sadisme yang dapat merusak perilaku anak-anak penontonnya?Saya berpendapat UU ITE ini perlu disempurnakan, atau setidak-tidaknya ada PP yang mengatur penjelasan lebih rinci agar mempermudah bagi publik dan penegak hukum memahami UU ini.
sumber:http://www.legalitas.org/?q=content/kasus-mengenai-perbuatan-yang-dilarang-uu-ite

hukum perjanjian internasional

Perjanjian Internasional Dalam Sistem Perundang–Undangan Nasional


Oleh: Lies Sulistianingsih, SH
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mempengaruhi kehidupan bangsa - bangsa di dunia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa – bangsa di dunia, semakin berkembang pula permasalahan – permasalahan dalam masyarakat internasional dan menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan dalam Hukum Internasional.
2. Hukum Internasional merupakan sistem aturan yang digunakan untuk mengatur negara yang merdeka dan berdaulat (1).Hukum Internasionall terdiri atas sekumpulan hukum, yang sebagian besar terdiri dari prinsip – prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara – negara dan oleh karenanya ditaati dalam hubungan antara negara, yang juga meliputi:
Peraturan – peraturan hukum tentang pelaksanaan funsi lembaga – lembaga dan organisasi – organisasi Internasional serta hubungannya antara negara – negara dan individu – individu.
Peraturan – peraturan hukum tertentu tentang individu – individu dengan kesatuan – kesatuan bukan negara, sepanjang hak – hak dan kewajiban individu dengan kesatuan kesatuan tersebut merupakan masalah kerjasama internasional.
3. Pada dasarnya berklakunya Hukum Internasional didasarkan pada 2 prinsip :
Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak – pihak yang membuat perjanjian.
Primat Hukum Internasional , Yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang – undang Nasional Suatu negara perserta perjanjian.
Namun dalam perkembangan hubungan Internasional dewasa ini terdapat ajaran (doktrin) Tentang hubungan Hukum Internasional, yang dikenal sebagai Doktrin Inkoporasi.Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian Internasional adalah bagian dari Hukum Nasional yang mengikat, dan berlaku secara langsung setelah penanda tanganan, kecuali perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan lembaga legislatif, dan baru dapat mengikat setelah diatur dalam peraturan perundang – undangan nasional suatu negara. Doktrin ini dianut oleh Inggris dan negara negara Anglo Saxon lainnya.Amerika juga menganut doktrin ini, namun membedakannya dalam:
Perjanjian Internasional yang berlaku dengan sendirinya (Self Execuing Treaty), dan
Perjanjian Internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (Non Self Executing Treaty)
Perjanjian – perjanjian Internasional yang tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika dan termasuk dalam Self Executing Treaty, akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasionalnya. Sedangkan Perjanjian Internasional yang Non Self Executing baru dapat mengikat pengadilan di Amerika setelah adanya peraturan perundang – undangan yang menjadikannya berlaku sebagai Hukum Nasional.
Perbedaan antara self executing dan non self executing Treaty tidak berlaku untuk perjanjian – perjanjian yang termasuk golongan executive agreement karena tidak memerlukan persetujuan Badan Legislatif (Parlemen), dan akan dapat langsung berlaku.
Dalam Sistem hukum kontinental di Jerman dan Perancis, suatu perjanjian internasional baru dapat berlaku apabila sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang Pengesahan Perjanjian, dan diumumkan secara resmi. Indonesia menganut sistem hukum kontinental.
4. Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional hanya perjanjian – perjanjian yang dapar membuat hukum (Law Making Treaties).
5. Pada Tahun 1969, negara – negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan Perjanjian Internaional sebagai persetujuan (agreement) antara dua negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik menurut Hukum Internasional.
6. Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah :
Konvensi / CovenantIstilah ini digunakan untuk perjanjian – perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri).
Protokol• Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan – ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan – pembatasan oleh negara penandatangan.• Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi.• Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen).
Persetujuan (agreement)Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan – persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak – pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa.Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil – wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi.
ArrangementHampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal – hal yang sifatnya mengatur dan temporer.
StatutaBisa berupa himpunan peraturan – peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga InternasionalStatuta juga bisa berupa himpunan peraturan – peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi – fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan – badan internasional.Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan – peraturan yang akan di terapkan.
DeklarasiIstilah ini dapat berarti :- Perjanjian yang sebenarnya- Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian- Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting- Resolusi oleh Konferensi Diplomatik
Mutual Legal AssistancePerjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.
7. Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan.Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat.Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara.Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi.
Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
8. Sistem Hukum nasionalSebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional.Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:(1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.(2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan - ketentuan sebagai berikut:
Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang – undang.
Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden.Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.
Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:a. Undang-Undang Dasar 1945.b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).c. Peraturan Pemerintah (PP).d. Peraturan Presiden.e. Peraturan Daerahf. Peraturan Desa
Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional).
9. Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan – ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang – undang yang dikenal sebagai Undang – Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional.
Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang – undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut. 10. KesimpulanPerjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang – undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang – undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat dilaksanakan.
sumber:http://www.legalitas.org/?q=Perjanjian+Internasional+Dalam+Sistem+Perundang%E2%80%93Undangan+Nasional

Hukum pukulan rotan

Hukuman pukulan rotan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dua jenis rotan: Baris depan adalah rotan jenis tebal dan baris belakang adalah rotan jenis tipis
Hukuman pukulan rotan adalah sebuah hukuman tindak pidana yang berlaku di Malaysia dan Singapura.

[sunting] Undang-undang mengenai pukulan rotan
Jumlah pukulan rotan terbanyak yang bisa dikenakan kepada seorang terdakwa menurut undang-undang Malaysia ialah 24 kali pukulan rotan. Terdapat dua jenis rotan yang digunakan:
Rotan jenis tipis, yang digunakan untuk kasus sogok-menyogok, kesalahan korupsi, dan kriminalitas kerah putih;
Rotan jenis tebal, yang digunakan untuk tindak kejahatan serius, umpamanya kasus perkosaan dan kejahatan seksual.
Rotan jenis tipis tidak begitu merusakkan badan, tetapi lebih menyakitkan. Pukulan rotan dengan rotan tebal yang melebihi lima kali bisa mengakibatkan impotensi dan mati rasa dari punggung ke bawah, dimana hal tersebut sukar disembuhkan. Oleh karena sakitnya pukulan rotan yang begitu dahsyat, undang-undang Malaysia telah memberi pengecualian pada kategori-kategori di bawah terhindar dari hukuman tersebut:
Perempuan, karena pukulan rotan bisa mengganggu kesehatan kandungan;
Lelaki berumur 50 tahun keatas;
Orang yang disahkan tidak sehat oleh dokter; dan
Orang gila

[sunting] Aturan hukum pukulan rotan (Merotan)
Pada hari hukuman merotan dilaksanakan, para terhukum yang terlibat akan memperoleh pemeriksaan kesehatan. Mereka akan berbaris dalam sebuah barisan untuk giliran masing-masing di tempat yang mana lokasi pelaksanaan hukuman merotan tidak bisa terlihat oleh mereka.
Pejabat Penjara Negeri Johor akan menyaksikan pelaksanaan merotan, bersama-sama dengan seorang dokter dari Rumahsakit Sultanah Aminah dan seorang pegawai penjara. Pemeriksaan teliti lalu diambil supaya hukuman merotan tidak dijatuhkan kepada orang yang salah.
Petugas penjara akan membacakan hukuman kepada terhukum, dan memintanya mengesahkan adakah hukuman yang terbaca itu betul atau tidak. Ia juga akan menanyakan terhukum tersebut apakah pembelaan telah dibuat. Jika belum, hukuman merotan akan ditangguhkan sehingga keputusan pembelaan dinyatakan.
Terdakwa masih dalam keadaan telanjang selepas pemeriksaan kesehatan, kecuali sehelai penutup yang diikatkan di pinggang. Sewaktu dirotan, tangan dan punggungnya diikat kepada suatu rangka berbentuk "A". Kepalanya diletakkan dibawah sebatang kayu melintang supaya badannya membungkuk.
Algojo yang melaksanakan hukuman merotan haruslah kompeten dan disahkan melalui ujian/tes oleh pengadilan. Saat ini, mereka akan dibayar RM10.00 (atau sekitar 26 ribu rupiah menurut kurs sekarang) untuk setiap rotan, yang mana sebelumnya untuk tugas ini algojo dibayar RM1.00, atau sekitar duaribu enam ratus rupiah per satu rotan).
Dalam pelaksanaan tugasnya, algojo harus diberi waktu yang cukup. Pegawai penjara yang bertugas menghitung jumlah pukulan rotan tidak boleh menentukan waktu untuk pukulan rotan selanjutnya. Tugasnya cuma memastikan terhukum tidak dikenakan rotan yang melebihi atau kurang daripada apa yang ditetapkan oleh pengadilan.
Algojo akan memulai pelaksanaan hukuman dengan memegang rotan secara mendatar diatas kepalanya. Lokasi tempat pelaksanaan hukuman harus dalam keadaan tenang dan sunyi. Apabila algojo telah siap, maka ia akan melepaskan tangan kirinya dan mengayunkan rotan kearah punggung terpidana dengan sekuatnya, seperti pemain golf mengayunkan pemukul. Untuk mencapai akibat yang paling dahsyat, algojo perlu memastikan bahawa ujung rotan digunakan untuk memukul terhukum.
Rotan yang direndam dengan cairan "Pemutih Clorox" untuk membunuh kuman, juga akan meningkatkan kesakitan terhukum. Kulit punggung akan lebam/memar bila dirotan satu kali. Dan jika pukulan rotan lebih dari lima kali dikenakan, kulit punggung terpidana akan terkelupas robek dan mulai berdarah.
Semua hukuman merotan harus dijalankan dalam satu kesempatan. Sekiranya terhukum pingsan, atau dokter memerintahkan agar pelaksanaan hukuman dihentikan karena terdakwa tidak bisa melanjutkan hukuman nya saat itu (jika terlalu berbahaya bagi terpidana dan dapat menyebabkan kematian), pelaksanaan hukuman rotan akan dihentikan. Sebuah permohonan akan dibuat kemudian pada pengadilan supaya sisa hukuman rotan digantikan dengan hukuman kurungan. Biasanya, setiap rotan disamakan dengan lima atau enam bulan pengurungan.
Rotan yang sudah dipakai bisa digunakan kembali. Walaupun demikian, tindakan pencegahan perlu diambil untuk terpidana yang mengidap HIV/AIDS. Rotan yang baru akan digunakan untuk kasus tersebut, dan selesai digunakan, rotan itu akan dibakar. Algojo juga dikehendaki memakai alat perlindungan, sarung tangan dan topeng kaca penutup mata, ditakutkan daging dan darah terpidana yang menderita HIV/AIDS akan mengenai tubuh algojo.
Selesai dirotan, terpidana akan diantarkan ke klinik penjara untuk mendapatkan perawatan. Terhukum akan dirumahsakitkan sehingga luka-lukanya sembuh, tergantung pada ketersediaan tempat tidur di klinik penjara. Sementara waktu, terhukum terpaksa berbaring dengan bagian perut menghadapi kasur, karena punggung yang telah cedera.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_pukulan_rotan

Istilah Hukum

Istilah hukum

[sunting] Advokat
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.

[sunting] Advokat dan pengacara
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.

[sunting] Konsultan hukum
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.

[sunting] Jaksa dan polisi
Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.

sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

hukum islam

Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia itu sendiri. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam hukum Islam, berzina dihukum rajam, sedangkan di Indonesia berzina hukumannya adalah penjara, jadi dalam hukum Islam tidak mengenal penjara, karena dalam penjara tidak ada penghapusan dosa sebagai ganti hukuman di akhirat. Apabila di dunia orang yang bersalah telah dihukum sesuai syariat Islam, maka di akhirat orang tersebut sudah tidak diproses lagi, karena telah diproses sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-Nya, Al Qur'an.
Di dalam Al Quran surat 5:44, Barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir". Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan (QS 2:208).
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

Hukum acara pidana

Hukum acara pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

Asas dalam hukum acara pidana
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia